Rabu, 02 November 2011

Biografi Tokoh Muhammadiyah

Muhammadiyah
1.      Biografi Pendirinya
 Kyiai Haji Ahmad Dahlan (selanjutnya akan ditulis KHAD) atau Muhammad Darwis[1] lahir di Kauman Yogyakarta tahun 1868, ayahnya bernama Abu Bakar Ibn Sulaiman ia seorang pejabat Kapengulon Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar penghulu Khatib di masjid Agung yang memiliki garis keturunan sampai ke Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan ibunya adalah putri dari Kyai Haji Ibrahim Ibn Kyai Hasan yang juga pejabat Kapengulon kesultanan Yogyakarta.
KHAD mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri, selain itu ia juga menjalani pergaulan dan pendidikan pesantren yang mencerminkan identitas seorang santri. Karena pada saat itu, identitas adalah hal yang sangat penting di kalangan pribumi, sehingga dapat dikatakan bahwa anak-anak Kauman Yogyakarta tidak ada yang berani sekolah di Gubernemen, karena akan dicap sebagai kafir. Pandangan yang berkembang pada masa itu di lingkungan santri terhadap penjajah Belanda adalah kafir, barangsiapa yang mengikutinya maka ia pun termasuk di dalamnya. Begitulah pola pikir tersebut membentuk jiwa masyarakat Kauman, tidak terkecuali Muhammad Darwis (KHAD). Darwis kecil senantiasa mengaji al-qur’an, hadits, fiqh, dan tata bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Kemudian pada tahun 1888 beliau menunaikan ibadah haji, sekaligus mukim selama 4 tahun, dan kembali lagi ke tanah air tercinta. Ia banyak belajar kepada beberapa Kyai di antaranya Kyiai Mohamad Nur kakak iparnya sendiri, KH Sa’id, Kyiai Mukhsin, Kyiai Abdul Hamid di Lempuyangan, R. Ng. Sosrosugondo, dan R. Wedana Dwijosewoyo. Dalam ilmu hadits KHAD belajar kepada Kyiai Mahfudh dan syeikh Khaiyat.[2]
 Namun berselang satu tahun KHAD kembali berangkat ke Mekkah pada tahun 1903, khusus untuk mendalami ilmu-ilmu agama yang pernah didapat di Mekkah. Ia tercatat sebagai murid dari Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau,  KHAD cukup mengagumi tokoh pembaharu Islam di Timur Tengah yakni Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dan dalam satu kesempatan pernah bertemu serta berdiskusi dengannya.  Maka selain kitab klasik, KHAD gemar pula membaca kitab-kitab modern seperti : al-islam wan nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar dan majalah urwatul wutsqa; Rasyid Ridha, Attawasul wal Washilah; Ibnu Taimiyah, dan lain-lain yang memberikan inspirasi dalam perjuangan dan pemikirannya. [3] berbekal ilmu agama yang dikuasai dan ide-ide pembaruan Islam dari Timur Tengah KHAD mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.

2.      Guru-guru KHAD
Sekedar untuk penyajian secara ringkas dan sederhana mengenai guru-gurunya, maka berikut ini adalah nama-nama guru dan tokoh yang mempengaruhi paradigma berpikir KHAD dalam menjalankan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi pembaruan Islam yakni:
1.      Ayahandanya sendiri (KH Abu Bakar)
2.      Kyiai Mohamad Nur (kakak iparnya sendiri)
3.      KH Sa’id
4.      Kyiai Mukhsin
5.      Kyiai Abdul Hamid
6.      R. Ng. Sosrosugondo
7.      R.Wedana Dwijosewoyo
8.      Kyiai Mahfudh
9.      Syeikh Khaiyat
10.  Syeikh KH. Ahmad Khatib Minangkabau (ketika di Mekkah)
11.  Ibnu Taimiyah
12.  Muhammad Abduh
13.  Rasyid Ridha
14.  Jamaluddin al-Afghani
Serta guru-guru KHAD yang lainnya, yang tidak disebutkan dalam paparan di atas.
3.      Mendirikan Organisasi Muhammadiyah
KHAD mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H di kota santri Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah ditenggarai sebagai organisasi Islam modernis  di Indonesia yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. KHAD lebih dipandang oleh banyak pengamat sebagai seorang tokoh kyiai yang besar bukan karena pondok pesantren, akan tetapi karena organisasi Muhammadiyah. Namun organisasi yang dipimpinnya lebih banyak mengembangkan sector pendidikan modern di seluruh Indonesia.[4]
Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan Islam yang sifatnya tidak konfrontatif terhadap pemerintahan colonial. Bahkan dapat dikatakan cenderung cooperative dengan pemerintah colonial. Perlu dipahami bahwa sikap seperti ini adalah sebagai strategi perjuangan Muhammadiyah dalam usahanya menyaingi misi Kristen yang mendapatkan proteksi dari pemerintah Belanda. Dengan demikian organisasi ini sejak berdirinya berhasil menempatkan diri secara proporsional, yaitu dengan tidak melibatkan diri dalam persoalan politik melawan penjajah dan justru memusatkan perhatiannya pada pendidikan, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat. [5]
Muhammadiyah yang berarti “Pengikut Nabi Muhammad saw” memiliki lambang sebagaimana dijelaskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 5 lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allãh ). Adapun maknanya yaitu bahwa matahari merupakan titik pusat dalam tata surya dan merupakan sumber kekuatan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Jika matahari menjadi kekuatan cikal bakal biologis, Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual dengan nilai-nilai Islam yang berintikan dua kalimat syahadat. Duabelas sinar matahari yang memancar ke seluruh penjuru diibaratkan sebagai tekad dan semangat warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam, semangat yang pantang mundur dan pantang menyerah seperti kaum Hawari (sahabat nabi Isa yang berjumlah 12) Warna Putih pada seluruh gambar matahari melambangkan kesucian dan keikhlasan. Warna Hijau yang menjadi warna dasar melambangkan kedamaian dan dan kesejahteraan.[6]


[1] Mohammad Heri, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, Gema Insani Press Jakarta 2006, hal. 7
[2] Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpus Muhammadiyah, Ensiklopedi Muhammadiyah, Rajawali Press Bandung 2005 hal. 74-75
[3] ibid
[4] Hamid, Shalahidun, et all, 100 Tokoh Islam paling berpengaruh di Indonesia,Intimedia Jakarta 2003, hal. 22
[5] KHozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia; Rekonstruksi sejarah untuk aksi, UUM Press Malang, 2006 hal. 165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar