Rabu, 02 November 2011

Memilih Teman Menurut Az-Zarnuji

Memilih Teman
وَاَمَّااخْتِياَرُالشَّرِيْكِ فَيَنْبَغِى اَنْ يَخْتاَرَ المُجِدَّ وَالوَرِعَ وَصَاحِبِ الّطَبْعِ المُسْتَقِيْمِ وَالمُتَفَهِّمَ وَيَفِرَّ مِنَ الكَسْلَانِ وَالمعَطَّلَ وَالمِكْثاَرَ وَالمُفْسِدَ وَالفَتاَّن.َ
“Adapun memilih teman hendaknya yang rajin (bersungguh-sungguh), wara’, istiqamah, pemahaman yang baik, dan hendaknya menjauhi teman yang malas, nganggur, banyak bicara, suka merusak, dan membuat fitnah”.[1]
Bagi seorang pelajar (thalib) yang ingin menuntut ilmu, hendaknya selektif dalam bergaul atau memilih teman. Karenanya Az-Zarnuji mensyaratkan dalam memilih teman itu harus yang rajin, wara’, istiqamah dan lain sebagainya. Pengaruh dari seorang teman sangatlah besar bagi pelajar yang akan menuntut ilmu. Jika dia berkahlaq baik, rajin dalam belajar, maka pengaruh positifnya akan menghampiri orang yang sering bergaul dengan dia.
Sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia dalam hal ini seorang pelajar membutuhkan teman untuk berdiskusi, berbagi pengalaman dan lain-lain. Bagi yang akidah dan keimanannya kuat, maka tidak akan mudah terbawa oleh perilaku temannya yang buruk. Namun bagi mereka yang kaidah dan keimanannya lemah, maka akan dengan sangat mudah perilaku buruk temannya berpindah pada dirinya, baik disadari atau pun tidak.
Rasulullah saw bersabda:
اَلمرْءُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ اَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“ seseorang itu akan terpengaruh agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah salah seorang di antara kamu memperhatikan siapa temannya itu.[2]
Dalam hadit lain, yakni hadits yang diterima oleh Abdullah Ibn Mas’ud Rasul mengungkapkan :
المَرْءُ مَعَ مَنْ اَحَبَّ
“seseorang itu beserta (mirip) dengan orang yang disukainya (temannya)”[3]
Hazm Khanfar menanggapi bahwa seorang teman yang baik, akan memberikan dampak yang besar bagi seorang mukmin, di antaranya adalah ia menjadi penyebab kita menuju hidayah Allah swt. Ibn al-Muqaffa’ dalam Adab ash-Shagir memperingatkan bahwa janganlah kalian berteman dengan orang lain, kecuali ia memiliki keutamaan ilmu, agama dan akhlaq yang baik.[4]
Dari Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash Rasulullah saw bersabda:

خَيْرُ الاَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُالجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
“Sebaik-baik teman menurut Allah adalah yang memberikan kebaikan kepada temannya dan sebaik-baik tetangga adalah yang memberikan kebaikan kepada tetangganya (yang lain)”.[5]
Dalam lingkup pendidikan pengaruh seorang teman termasuk pada faktor lingkungan, dan ini ditenggarai sebagai hal-hal yang mempengaruhi dalam aktifitas belajar. Bukanlah suatu jaminan, bahwa seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang baik, guru yang baik, sekolah yang berkualitas, akan tetapi teman bermain atau bergaulnya adalah anak yang tidak baik, maka hasil yang tidak baik yang akan diperoleh. 


[1] Az-Zarnuji, hal. 24-25
[2] H.R Tirmidzi
[3] H.R. Bukhari dan Muslim
[4] Khanfar, Hazm,  Ghayatul Manuwwati fi Adab ash-Shuhbati wa huququq al-Ukhuwwati, Darr  Ash-Shadiq 2009 hal. 20
[5] H.R Ahmad dan Tirmidzi

Biografi Tokoh Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama
1.      Biografi Pendirinya
Kyiai Haji Hasyim Asy’ari (yang selanjutnya ditulis KHASY) lahir di Jombang, Jawa Timur, hari selasa, 24 Dzulhijjah 1287 H, Bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. dan wafat pada tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 H[1]. Nama kecilnya adalah Muhammad Hasyim[2], ia anak ke tiga dari sebelas bersaudara. Ayahnya bernama Kyiai Asy’ari Ulama asal Demak, sedang Ibunya bernama Halimah, Putri Kyiai Usman, Pengasuh Pesantren Gedang Tempat ia dilahirkan.
Ayahnya adalah pendiri pesantren Keras, sedangkan kakeknya (Kyiai Usman) pengasuh pesantren Gedang, masih wilayah sekitar Jombang Jawa Timur. Pun pesantren Tambak Beras, yang letaknya sebelah barat kota Jombang, didirikan oleh ayah dari kakeknya yaitu Kyiai Sihah.
Latar belakang dari keluarga santri dan hidup di lingkungan pesantren, tentunya memberikan sentuhan tersendiri pada perkembangan pribadi KHASY.  Pendidikan pertama kali ia dapatkan dari ayahnya yang mengajarkan ilmu-ilmu agama islam. Semenjak kecil KHASY sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya dalam menyerap ilmu agama. Sehingga ketika usianya menginjak 13 tahun ia sudah dipercaya oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya lebih tua dari KHASY.
Selain dari sang ayah dan kakeknya, KHASY juga memperdalam keilmuannya di beberapa pesantren yang ada di jawa timur, diantaranya adalah Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Bangkalan Madura, Siwalan Panji Sidoarjo,  sehingga karena ketekunan dan kecerdasannya KHASY dijodohkan oleh KH Ya’kub dengan putrinya Nafisah pada tahun 1892.[3]
Sebagaimana kebiasaan di pesantren pada saat itu, kalau seorang Kyiai yang ilmu agamanya tinggi dan banyak belajar di beberapa pesantren, kalau belum menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekkah al-Mukarramah, maka dianggapnya belum afdhal. Maka KAHSY berangkat ke Mekkah melaksanakan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di sana. Adapun guru-guru yang pernah mengajarinya selama di Mekkah adalah Syeikh Syu’aib Ibn Abdirrahman, Syeikh Muhammad mahfuzh At-Tirmasi, dan syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Belakangan, ketika di timur tengah tengah dilanda refomasi atau pembaharuan yang digagas oleh Muhammad Abduh, KHASY pun mengikuti perkembanganya secara aktif. 7 tahun KHASY berada di Mekkah al-Mukarramah (yaitu ketika keberangkatan yang kedua kalinya ke tanah suci, sedangkan yang pertama kali hanya mukim beberapa bulan saja).
Sepulangnya ke tanah air, berbekal keilmuan yang ia dapatkan di berbagai tempat. Maka dengan tekad dan istiqamah KHASY mendirikan pondok pesantren yang sekarang dikenal dengan Pesantren Tebuireng.

2.      Guru-guru KHASY
Adapun para ulama yang pernah menjadi guru bagi KHASY di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Ayahnya sendiri (KH Asy’ari)
2.      Kakeknya (KH Usman)
3.      Kyiai dari pesantren Wonokoyo Probolinggo
4.      Kyai Bangkalan Madura
5.      Kyiai Siwalan Sidoarjo
6.      Syeikh Syu’aib Ibn Abdirrahman
7.      Syeikh Muhammad Mahfuzh At-Tirmasi
8.      Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
Dan ulama-ulama lainnya yang tidak disebutkan dalam makalah ini.

3.      Mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama
 Nahdlatul Ulama (yang selanjutnya ditulis NU) memiliki arti ”kebangkitan Ulama” didirikan oleh KHASY bersama ulama-ulama lain pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Adapun mereka yang ikut membentuk organisasi NU di antaranya adalah Syeikh Abdul Wahab Hasbullah, Syeikh Bishri Syansuri dan ulama-ulama besar di Jawa.[4]


[1] Hadziq, Ishom, Irsyad al-Syariy Fi jam’I Mushannafat asy-Syeikh Hasyim Asy’ari, Maktabah Turats Islamy, Jombang 2007 hal. 5-7
[2] Hamid, Shalahuddin, dan Ahza, Iskandar, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Intimedia Jakarta, hal.1
[3] Mohammad, Herry, hal. 21-22
[4] Hadziq, Ishomuddin, Irsyad asy-Syari fi Jam’I Mushannafati Syeikh Hasyim Asy’ary, Maktabah Tebuireng Jombang, Jawa Timur, tt, hal.5, lihat Wahab, Rochidin, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Alfabeta Bandung 2004, hal. 29, dan Mastuki et.all , Intelektualisme Pesantren, Diva Pustaka Jakarta 2006 Seri.2 hal. 320

Biografi Tokoh Muhammadiyah

Muhammadiyah
1.      Biografi Pendirinya
 Kyiai Haji Ahmad Dahlan (selanjutnya akan ditulis KHAD) atau Muhammad Darwis[1] lahir di Kauman Yogyakarta tahun 1868, ayahnya bernama Abu Bakar Ibn Sulaiman ia seorang pejabat Kapengulon Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar penghulu Khatib di masjid Agung yang memiliki garis keturunan sampai ke Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan ibunya adalah putri dari Kyai Haji Ibrahim Ibn Kyai Hasan yang juga pejabat Kapengulon kesultanan Yogyakarta.
KHAD mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri, selain itu ia juga menjalani pergaulan dan pendidikan pesantren yang mencerminkan identitas seorang santri. Karena pada saat itu, identitas adalah hal yang sangat penting di kalangan pribumi, sehingga dapat dikatakan bahwa anak-anak Kauman Yogyakarta tidak ada yang berani sekolah di Gubernemen, karena akan dicap sebagai kafir. Pandangan yang berkembang pada masa itu di lingkungan santri terhadap penjajah Belanda adalah kafir, barangsiapa yang mengikutinya maka ia pun termasuk di dalamnya. Begitulah pola pikir tersebut membentuk jiwa masyarakat Kauman, tidak terkecuali Muhammad Darwis (KHAD). Darwis kecil senantiasa mengaji al-qur’an, hadits, fiqh, dan tata bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Kemudian pada tahun 1888 beliau menunaikan ibadah haji, sekaligus mukim selama 4 tahun, dan kembali lagi ke tanah air tercinta. Ia banyak belajar kepada beberapa Kyai di antaranya Kyiai Mohamad Nur kakak iparnya sendiri, KH Sa’id, Kyiai Mukhsin, Kyiai Abdul Hamid di Lempuyangan, R. Ng. Sosrosugondo, dan R. Wedana Dwijosewoyo. Dalam ilmu hadits KHAD belajar kepada Kyiai Mahfudh dan syeikh Khaiyat.[2]
 Namun berselang satu tahun KHAD kembali berangkat ke Mekkah pada tahun 1903, khusus untuk mendalami ilmu-ilmu agama yang pernah didapat di Mekkah. Ia tercatat sebagai murid dari Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau,  KHAD cukup mengagumi tokoh pembaharu Islam di Timur Tengah yakni Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dan dalam satu kesempatan pernah bertemu serta berdiskusi dengannya.  Maka selain kitab klasik, KHAD gemar pula membaca kitab-kitab modern seperti : al-islam wan nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar dan majalah urwatul wutsqa; Rasyid Ridha, Attawasul wal Washilah; Ibnu Taimiyah, dan lain-lain yang memberikan inspirasi dalam perjuangan dan pemikirannya. [3] berbekal ilmu agama yang dikuasai dan ide-ide pembaruan Islam dari Timur Tengah KHAD mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.

2.      Guru-guru KHAD
Sekedar untuk penyajian secara ringkas dan sederhana mengenai guru-gurunya, maka berikut ini adalah nama-nama guru dan tokoh yang mempengaruhi paradigma berpikir KHAD dalam menjalankan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi pembaruan Islam yakni:
1.      Ayahandanya sendiri (KH Abu Bakar)
2.      Kyiai Mohamad Nur (kakak iparnya sendiri)
3.      KH Sa’id
4.      Kyiai Mukhsin
5.      Kyiai Abdul Hamid
6.      R. Ng. Sosrosugondo
7.      R.Wedana Dwijosewoyo
8.      Kyiai Mahfudh
9.      Syeikh Khaiyat
10.  Syeikh KH. Ahmad Khatib Minangkabau (ketika di Mekkah)
11.  Ibnu Taimiyah
12.  Muhammad Abduh
13.  Rasyid Ridha
14.  Jamaluddin al-Afghani
Serta guru-guru KHAD yang lainnya, yang tidak disebutkan dalam paparan di atas.
3.      Mendirikan Organisasi Muhammadiyah
KHAD mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H di kota santri Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah ditenggarai sebagai organisasi Islam modernis  di Indonesia yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. KHAD lebih dipandang oleh banyak pengamat sebagai seorang tokoh kyiai yang besar bukan karena pondok pesantren, akan tetapi karena organisasi Muhammadiyah. Namun organisasi yang dipimpinnya lebih banyak mengembangkan sector pendidikan modern di seluruh Indonesia.[4]
Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan Islam yang sifatnya tidak konfrontatif terhadap pemerintahan colonial. Bahkan dapat dikatakan cenderung cooperative dengan pemerintah colonial. Perlu dipahami bahwa sikap seperti ini adalah sebagai strategi perjuangan Muhammadiyah dalam usahanya menyaingi misi Kristen yang mendapatkan proteksi dari pemerintah Belanda. Dengan demikian organisasi ini sejak berdirinya berhasil menempatkan diri secara proporsional, yaitu dengan tidak melibatkan diri dalam persoalan politik melawan penjajah dan justru memusatkan perhatiannya pada pendidikan, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat. [5]
Muhammadiyah yang berarti “Pengikut Nabi Muhammad saw” memiliki lambang sebagaimana dijelaskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 5 lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allãh ). Adapun maknanya yaitu bahwa matahari merupakan titik pusat dalam tata surya dan merupakan sumber kekuatan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Jika matahari menjadi kekuatan cikal bakal biologis, Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual dengan nilai-nilai Islam yang berintikan dua kalimat syahadat. Duabelas sinar matahari yang memancar ke seluruh penjuru diibaratkan sebagai tekad dan semangat warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam, semangat yang pantang mundur dan pantang menyerah seperti kaum Hawari (sahabat nabi Isa yang berjumlah 12) Warna Putih pada seluruh gambar matahari melambangkan kesucian dan keikhlasan. Warna Hijau yang menjadi warna dasar melambangkan kedamaian dan dan kesejahteraan.[6]


[1] Mohammad Heri, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, Gema Insani Press Jakarta 2006, hal. 7
[2] Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpus Muhammadiyah, Ensiklopedi Muhammadiyah, Rajawali Press Bandung 2005 hal. 74-75
[3] ibid
[4] Hamid, Shalahidun, et all, 100 Tokoh Islam paling berpengaruh di Indonesia,Intimedia Jakarta 2003, hal. 22
[5] KHozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia; Rekonstruksi sejarah untuk aksi, UUM Press Malang, 2006 hal. 165